Lebih lanjut, Bagja mengatakan, sengketa pemilihan legislatif (pileg) selalu mendominasi jika dibandingkan dengan sengketa yang menyangkut pemilihan presiden (pilpres).

Dia menyoroti kasus perubahan daftar pemilih tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia yang diduga ada indikasi pelanggaran karena dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan undang-undang.

“Di Kuala Lumpur, jumlah pemilih yang terverifikasi hanya 68.000 dari total sekitar 440.000 WNI. Kasus ini pun menjadi titik awal yang mengungkap adanya masalah pencatatan warga negara Indonesia di luar negeri sehingga memerlukan evaluasi mendalam terhadap metode pos yang digunakan,” terangnya.

Sejak 2008, kata Bagja, Bawaslu telah mengawal proses pemilu dan berhasil membawa tindak pidana pemilu ke pengadilan, termasuk kasus di Kuala Lumpur.

Hanya saja, untuk kasus yang di luar negeri kompleksitas tindak pidananya menambah kerumitan dalam penanganan kasus dimaksud. Dia mengaku bangga lantaran bisa membawa kasus di Kuala Lumpur masuk ke tahap pengadilan.

“Dalam sejarah pengawalan pemilu sejak 2008, tindak pidana pemilu di luar negeri dapat ke pengadilan, “pecah telur” sekarang,” pungkas Bagja.