Jakarta, ERANASIONAL.COM – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengungkapkan pihaknya telah menangani hingga tuntas 140 kasus pelanggaran hukum selama penyelenggaraan Pemilu 2024.

Dari jumlah tersebut, kata Bagja, terbanyak adalah pelanggaran administrasi sebanyak 71 kasus dan pelanggaran pidana sebanyak 63 kasus serta sisanya pelanggaran hukum lainnya.

“Hampir setengah dari kasus pidana ini terbukti, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk penegakan hukum yang lebih efektif dalam pemilu,” ujar Bagja di Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Dari sisi pelaporan, kata Bagja, terdapat sekitar 1.500 laporan masuk dan ditambah dengan 700 temuan Bawaslu atas dugaan pelanggaran Pemilu 2024.

Bagja mengakui, penanganan kasus berdasarkan laporan maupun temuan itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu.

“Kami berkomitmen menindaklanjuti setiap kasus yang memiliki bukti yang cukup, termasuk kasus yang viral di media sosial maupun yang tidak. Penanganan kasus ini mencerminkan upaya untuk mempertahankan integritas pemilu dan memastikan setiap pelanggaran mendapatkan tindakan sesuai hukum yang berlaku,” bebernya.

Bagja menuturkan, dugaan pelanggaran selalu ada dalam pemilu karena faktor manusia yang terlibat dalam pesta demokrasi dengan skala yang sangat besar ini.

Namun, kata dia, yang terpenting bagi Bawaslu adalah bagaimana pelanggaran tersebut dapat mempengaruhi hasil pemilu.

“Setiap suara di tempat pemungutan suara (TPS) dan setiap suara dalam rekapitulasi harus memiliki bobot yang sama dalam menentukan hasil akhir,” tandas dia.

Lebih lanjut, Bagja mengatakan, sengketa pemilihan legislatif (pileg) selalu mendominasi jika dibandingkan dengan sengketa yang menyangkut pemilihan presiden (pilpres).

Dia menyoroti kasus perubahan daftar pemilih tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia yang diduga ada indikasi pelanggaran karena dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan undang-undang.

“Di Kuala Lumpur, jumlah pemilih yang terverifikasi hanya 68.000 dari total sekitar 440.000 WNI. Kasus ini pun menjadi titik awal yang mengungkap adanya masalah pencatatan warga negara Indonesia di luar negeri sehingga memerlukan evaluasi mendalam terhadap metode pos yang digunakan,” terangnya.

Sejak 2008, kata Bagja, Bawaslu telah mengawal proses pemilu dan berhasil membawa tindak pidana pemilu ke pengadilan, termasuk kasus di Kuala Lumpur.

Hanya saja, untuk kasus yang di luar negeri kompleksitas tindak pidananya menambah kerumitan dalam penanganan kasus dimaksud. Dia mengaku bangga lantaran bisa membawa kasus di Kuala Lumpur masuk ke tahap pengadilan.

“Dalam sejarah pengawalan pemilu sejak 2008, tindak pidana pemilu di luar negeri dapat ke pengadilan, “pecah telur” sekarang,” pungkas Bagja.