Bahkan, nepotisme ini tidak hanya menguasai suprastruktur politik di eksekutif dan legislatif, tetapi juga menguasai, bahkan menyandera lembaga yudikatif dalam hal ini, MK selaku pelaksana kekuasaan kehakiman.

“Ketika Anwar Usman Ketua MK saat itu menjadi ipar Presiden Jokowi. Inilah yang membuat MK kehilangan kemerdekaan dan kemandiriannya,” ujar Petrus.

“Selama Anwar Usman menjabat sebagai Ketua MK, dia telah meruntuhkan wibawa dan mahkota MK,” sambungnya.

Petrus menilai, kemerdekaan dan kemandirian MK yang dijamin dalam Pasal 24 UUD 1945 dirusak hanya demi kepentingan nepotisme dinasti politik yang melanggar TAP MPR No.XI /MPR/1998 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menurut dia, yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kedaulatan rakyat lantaran kedaulatan itu kehilangan peran penentu dalam politik negara. Peran kedaulatan rakyat bergeser menjadi kedaulatan nepotisme dinasti politik.

“Artinya, manakala nepotisme dinasti politik Jokowi dibiarkan berkembang dan beranak-pinak ke seluruh sentra kekuasaan, hingga ke suprastruktur politik di pucuk pimpinan lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), maka secara absolut kedaulatan rakyat akan bergeser menjadi kedaulatan nepotisme dinasti politik Jokowi yang seolah-olah melalui proses demokrasi,” jelasnya.

Dia mewanti, jika hal ini sampai terjadi, maka bangsa Indonesia akan kembali kepada sistem hegemoni kekuasaan politik seperti di masa Orde Baru, dimana terjadinya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada presiden yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, dan tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam kontrol terhadap pemerintah.