JAKARTA, Eranasional.com – Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan perkara gugatan terkait syarat usia capres dan cawapres yang diajukan Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Brahma Aryana bakal pada Rabu, 29 November mendatang.

Untuk diketahui, gugatan ini dilayangkan setelah adanya putusan MK atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai cacat lantaran ada pelanggaran etik berat yang dilakukan Ketua MK saat itu Anwar Usman.

Karena dinilai cacat, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November lalu melengserkan Anwar Usman dari kursi Ketua MK.

Berkat putusan MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang baru berusia 36 tahun bisa menjadi cawapres pendamping capres Prabowo Subianto.

Anwar Usman sendiri adalah pamannya Gibran dan adik ipar dari Presiden Jokowi. Putusannya dinilai bernuansa nepotisme.

“Rabu 29 November 2023 pengucapan putusan perkara nomor 141/PUU-XXI/2023,” bunyi pengumuman di situs MK, Jumat, 24 November 2023.

Dalam gugatannya, Brahma Aryana meminta usia di bawah 40 tahun yang boleh maju sebagai capres-cawapres adalah yang pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur saja, tidak termasuk Wali Kota atau Bupati. Gibran sendiri saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Sebab, menurut Brahma, dalam penyusunan putusan sebelumnya, lima hakim konstitusi yang mengubah syarat usia minimum capres dan cawapres pun tak bulat pandangan.

Dari lima hakim itu, hanya tiga hakim yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah tingkat apa pun, termasuk gubernur, berhak maju sebagai capres-cawapres.

Namun, dua hakim lainnya yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur saja yang berhak.

Menurut Oemohon, hal ini dapat menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.

Dengan begitu, jika putusan itu dibaca secara utuh, maka hanya jabatan gubernur saja yang bulat disepakati lima hakim konstitusi untuk bisa maju sebagai capres-cawapres.

“Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya tiga hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur lima hakim konstitusi,” kata Brahma.

Dia menegaskan bahwa frasa baru pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan tiga suara hakim dari lima suara hakim yang dibutuhkan.

Kuasa Hukum Brahma, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan bahwa Pemohon hanya menginginkan adanya penguatan terhadap legitimasi Pemilu yang lemah akibat putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Viktor berharap apa pun putusan MK, dapat memberikan pertimbangan hukum dalam perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang bisa mengembalikan legitimasi pemilu usai dinilai cacat karena putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terbukti telah terjadi pelanggaran etik dalam prosesnya.

“Harapan kita bersama, Pemilu 2024 dapat terselenggara selain jujur dan adil juga memiliki legitimasi yang kuat, sehingga jangan sampai MK menempatkan diri pada pihak yang membuat cacatnya legitimasi termasuk terjadinya persoalan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), apalagi penyelesaian akhir sengketa pemilu (pilpres) ada di MK,” kata Viktor.

“Kami semua menyakini di bawah kepemimpinan ketua MK yang baru, maka MK akan bisa mengembalikan marwah dan kondisi yang sempat terpuruk menjadi berwibawa kembali,” sambungnya.

Dalam memutus gugatan ini, MK memastikan Anwar Usman tidak terlibat lantaran terbukti melanggar etik berat hasil putusan MKMK. (*)