JAKARTA, Eranasional.com – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengkritik balik Presiden Keenam RI yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, yang menyinggung adanya upaya mengganti sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Kritik balik Hasto ini dengan merujuk pada kejadian di Tahun 2008 dan menurut Hasto, SBY sudah lupa akan kejadian tersebut.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review. Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” ujar Hasto di Lebak, Banten, Minggu (19/2/2023).
Hasto mengaku heran dengan tanggapan SBY soal perubahan sistem pemilu yang bisa terjadi di tengah tahapan Pemilu Serentak 2024 sedang berlangsung. Padahal, kata Hasto, di era SBY juga dilakukan perubahan sistem pemilu yang merupakan strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan, yakni bisa mencapai 300 persen.
“Dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen, sehingga mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” jelas Hasto.
Dia pun menjelaskan, judical review yang sekarang berbeda dengan yang dilakukan pada 2008. Pasal, JR sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDIP juga tidak mempunyai hak dan legal standing untuk melakukan judicial review.
“Ini (JR saat ini) dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada jaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” ungkap Hasto.
Hasto menuturkan, proporsional terbuka yang dilakukan masa SBY membuat partai digerakkan oleh kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” pungkas Hasto.
Sebelumnya, SBY mempertanyakan urgensi diubahnya sistem Pemilu di Indonesia di tengah proses Pemilu 2024 yang tengah berjalan. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memiliki jadwal dan timelinenya sendiri pada Pemilu.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan